Setiap hari, Ning selalu melipat-lipat kertas. Ia selalu menghasilkan sesuatu dari lipatan tersebut: bangau, kapal boat, katak, maupun ayam. Ia selalu mengajariku membuat sesuatu dari kertas: lipatan-lipatan presisi yang akan menghasilkan sesuatu. Suatu hari ia membuat pesawat terbang. Ia membuat banyak sekali pesawat terbang untuk diterbangkannya seharian, tentu saja bersamaku, di beranda rumah. Pada akhirnya ia akan mendapatiku riang gembira menerbangkan pesawat-pesawat itu satu per satu. Ning lantas berpesan bahwa kelak, pesawat-pesawat itu akan menuntunmu ketika beranjak dewasa. Aku mengangguk. Ning, bersama pesawat-pesawat itu seperti menyokongku menuju entah. Pesawat-pesawat kertas itu aku simpan diatas televisi. 

1 tahun, 2 tahun, 10 tahun, 19 tahun berlalu. Pesawat-pesawat itu masih berada diatas televisi. Ning sudah tua. Ia tersenyum bahagia melihat pigura-pigura foto yang tersusun rapi di dinding ruang tamu. Di foto tersebut ia melihat aku bersama pesawat ulang alik buatanku. Hari itu aku terbang. Pesawatku kuberi nama “Ning”.

Ning adalah ibuku.