Malam kian larut;
Setelah kubaca puisi terakhir, kerumunan nokturno ini kembali ke ranah hidupnya masing-masing : kenang
Hanya kepada cangkir nyaris menggugah kita kepada rasa penasaran yang tidak terlapukkan angan
Bahkan tidak kepada kata-kata, mereka kini antitesis yang sempurna


Wajahmu pucat, aku tahu
Setelah kita berhenti di ribuan kilometer seusai kata pertama terucap
Lelah pikir,
disleksia
dan jadilah aku di sini, tertekuk,
mengutuk;
pada serigala yang tak lelah jajahi ladangnya

diorama kata, kehilangan rimanya
berdelusi : apa hanya pada cangkir ini aku tak mampu henti meratap ?

pada radio yang mampu terjemahkan rasa,
cangkir ini memang sudah tak bisa lagi dibagi