Masih perlukah sebuah kecemasan, jika waktu seringkali mengajarkan hal yang sangat nyata: kejahatan pasti selalu kalah. Malam ini ia benar-benar cemas. Isi kepalanya terhempas.


Memori 20 tahun kehidupan tak pernah mampu hilang dari pelupuk matanya. Selalu membekas. Hegemoni masa muda membawanya pada lajur yang keras. Kriminal adalah satu sisi jalan. Ia melaluinya. Konon, untuk menjadi seorang kriminal sejati, ia rela berguru pada kriminal-kriminal senior. Segala pengetahuannya tentang ilmu kriminal akhirnya dipraktekannya kepada para korban. Bengis, keras, sadis. Penyiksa ulung, perampas tangguh. Kriminal muda ini lama kelamaan menjelma menjadi kriminal senior. Ia selalu menang. Tentu ia begitu senang.

Dengan bengis ia melukai para korban -- tak jarang ia juga membunuh. Baginya darah menjadi bukti, ia adalah kriminal sejati. Ia pun laksana belut, karena polisi manapun tidak pernah mampu membekuknya. Jangankan membekuk! Mencari jejaknya pun, nihil. Ia adalah bayangan yang nyaris mustahil ditemukan. Siapapun yang mendengar namanya bulu kuduknya kontan berdiri tegak. Namanya mutlak menjadi legenda.

Namun, bukankah apapun yang pernah tergenggam, pasti akan memudar, lantas hilang? setelah 20 tahun berlalu, protes ia kepada situasi. Label legenda masih gagah tersemat. Namun, apa gunanya menjadi legenda jika hari ini ia tenggelam sia-sia. Legenda menempel bak mahkota di kepalanya. Tapi siapa sudi melihat mahkota di kepala ketika tubuh yang lusuh itu telanjang? Barangkali ia lupa, pepatah selalu mengajarkan: seorang kriminal akan mendapatkan  banyak hal, kecuali masa depan. 

Malam ini ia cemas sekali. Diam. Di kesendirian, pelupuk matanya membiaskan cahaya yang entah. Memang, waktu seringkali mengajarkannya hal yang nyata.


1 april
01:10