Santi, perempuan lentik berbalut selendang
Di atas pelataran surau
Nampak wajahmu megap-megap, gusar
Terbelalak atas segala pandang


Santi
Yang muda, cantik, berbudi halus
Adakah secuil pengharapan menjadi sia-sia, bila retak dosa tak mampu buatmu berkata
Kesempitan duniamu,
Butanya harapmu

Santi..
Akan sampai dititik mana engkau tegak tanpa terkapar
Jika engkau terus mengiba, meratap keadaan !
Dibuat lemah oleh kuatnya pribadi ibu bapakmu
Congkak berpaku mitologi
Menasbihkan diri mereka tuhan dengan mengatur segala kodrat yang engkau harus laku


“Akan sampai disini. Dimana engkau musti mengejawantah perintah kami ! Terima pinangan laki-laki itu, dia makmur karena dia berada. Dia adalah pelita untuk hidupmu dan hidup kita yang lebur. Bahwasanya kami tak mau hidupmu elegi. Sekali lagi, terima ia ! Kata penolakan hanya akan menjadi karma !”


Santi, jika riwayatmu tergaris
Pilu


Dalam temaram ini lekas patrikan :

“Ketahuilah, ketika tiada satu bajingan pun mampu memahami keadaan, bayangkan ketiadaan. Ketiadaan ada, dan diam, saat orang-orang terpatri merebut keagungan, menggugat citra dan rasa ingin yang meledak ! Kini sematkan diri dalam ketiadaan, dalam rangkaian kata kelam, persepsi karam. Tak peduli reaksimu sedu sedan ataukah tertawa gila. Aku bukan putih, dan aku kiri, mencintai ketiadaan !”


Santi, pegang pisau itu, tikam dadamu....