Saat saya besar nanti, jika punya banyak waktu untuk membuat daftar list bertema 'seniman yang punya karya bagus namun tidak songong', maka Is Pusakata pasti saya cantumkan di slot daftar tersebut.

Setidaknya, seperti itulah gambaran tentang sosok bernama terang Mohammad Istiqamah Djamad, saat tim diamembisu.com temui di sela konser inagurasi di Universitas PGRI Semarang (UPGRIS), Jumat (20/9/2019) malam.

Ramah, jeli, dan lugas.

Untuk dua hal yang disebut terakhir, anda harusnya sudah bisa merasakannya, lewat lirik-lirik lagu yang sudah dibuatnya sejak di Payung Teduh, hingga saat ini di Pusakata.

Maksud saya, mana mungkin ada orang yang tak memiliki kejelian bisa membuat lirik lagu sejenius 'Kehabisan Kata-kata'?


Is juga jeli (lebih tepatnya resah) melihat kondisi media sosial saat ini. Baginya, informasi yang berseliweran di media sosial saat ini hanya berisikan hal-hal yang kosong melompong namun dibuat menjadi viral.

"Saya kira jangan sampai mahasiswa bermental melahap informasi apa saja yang viral."

"Padahal bisa dibilang 80 persen isinya kopong semua," sungutnya.

Betapa tidak? Hal-hal yang sangat tidak penting seperti buka-bukaan aib, permasalahan rumah tangga, diberikan tempat seluas-luasnya.

Sementara hal-hal yang jauh lebih substantif semisal isu reklamasi, hutan yang terus dijadikan sawit baik, masih banyaknya masyarakat minoritas yang tak boleh bangun rumah ibadah karena diintimidasi kelompok-kelompok mayoritas, hingga isu Papua, diberi tempat parkir saja tidak.

"Semoga tidak lagi seperti itu," lanjutnya.


Saya tentu sangat setuju dengan Is.

Bagi saya, martabat seseorang selalu sejalan dengan integritasnya.

Beberapa waktu lalu saya punya sebuah pengalaman yang cukup menggelitik. Seorang aktivis di Kota Surakarta tiba-tiba mengirim pesan whatsapp.

Ia meminta agar saya datang untuk meliput aksi teatrikal dukungannya terhadap revisi UU KPK dengan membawa peti mati.

Ia berdalih, peti mati yang ia bawa menjadi simbol bahwa revisi UU KPK pasti bisa memperkuat KPK dan mengurangi aksi korupsi di Indonesia.

Lalu saya balas, tujuannya apa?

"Biar viral sampai Jakarta."

Dengan senang hati saya kemudian tidur saja di kamar dan menganggap pesan whatsapp tersebut tidak pernah ada.

Memandikan Gajah
Berbicara tentang kejelian, Is pun saat ini mengaku gemar bepergian ke daerah-daerah yang ada di Indonesia.

Beberapa tempat semisal Halmahera, Ternate, Tidore, Aceh. Pengalaman berharga pun didapatkannya. Hal itu juga diakuinya membentuk karakter dalam lirik-lirik lagu di Pusakata.

"Saya ke Aceh belajar berinteraksi dengan gajah. Gabung sama ranger yang melatih gajah. Saya mandiin dan ajak komunikasi juga," paparnya.

Is menilai, dengan lebih peka terhadap alam dan sesama makhluk hidup, ditambah kemampuan membaca tanda yang diberikan alam, maka sejatinya harmoni dapat diraih, dan perselisihan bisa segera ditumpas.

"Hal-hal seperti itu, Iqra (baca), yang harus dilatih tiap makhluk hidup tak terkecuali manusia," ujarnya.

Pertanyaan ditutup dengan 'mau kolaborasi sama siapa lagi?'

"Sama Dewa Budjana, ditunggu saja," paparnya.