Di sore ini, aku menatap kenangan. Seperti sore-sore sebelumnya, kenangan itu aku terbangkan pada sebuah layang-layang. Layang-layang kenangan memilukan, yang benangnya terus aku genggam. Walau sedetikpun aku merasa tak mampu untuk melepasnya, jauh. Karena kenangan yang kuterbangkan dalam layang-layang itu terus membuat getirku luruh dan tenggelam ke lautan masa lampau, silam, dimana disana dirinya masih ada.


Kadang aku bertanya pada diri sendiri tentang 1 kata itu. Kenangan. Sebenarnya apa makna yang tersembunyi dibalik segaris kata itu ?  Lantas terbuat dari apa kenangan itu ? Apakah kenangan adalah  angin sepoi yang dirindukan kedatangannya oleh para pecandu layang-layang ? Atau lengkingan petik gitar Jimi Hendrix yang mampu munculkan getir dan menyayat di malam yang basah ? 

Mungkin hidup ini memang penuh kenangan. Kadang terangkai dengan sempurna keindahannya hingga aku selalu menginginkan kenangan itu datang kembali. Kadang pula menerkam di sana-sini, dan meninggalkan pedih yang membekas. Seperti yang kurasa kini.

Walau begitu saat ini aku ingin dirinya tetap menjadi bagian dari kenangan itu.

Aku memang sering merindukan kenangan, bersama angin sepoi sore hari saat bermain layang-layang, di saat malam senyap bertemankan kretek maupun bir, atau ketika berada di sebuah sudut jingga tanpa batas. Kenangan sering datang perlahan, mendadak di kelopak mata, lalu lenyap begitu saja. Atau beringsut, membeku sekian lama, membentuk sebuah siluet di kaca, dan melambai seperti gurat fatamorgana. Kenangan itu maya, tapi sering aku ditarik hingga nyaris seperti alam nyata. 

Pun nyatanya sembari bermain layag-layang, aku masih menenggelamkan benakku sendiri menuju memori dimasa itu. berharap kutemui dia disuatu tempat dibenak sana. Kebekuanku memanjang. Waktu bisa mengubah dunia, tapi waktu tak mampu melupakan kenanganku. Perasaanku.

Barangkali hidupku kini seperti layang-layang ini. Terbang, tak menentu, tak tentu arah. Aku seperti diterbangkan kenangan, yang menerbangkan diriku kesana kemari. Hidupku paradoks, namun aku menikmatinya. Aku menganggap diriku mati, kenanganku membunuhku, dan mencabik bangkai tubuhku.

Atau barangkali tekad tak mampu kalahkan alam bawah sadarku yang selalu memunculkan penggal-penggal kisah yang membuatku merekah, dalam bayang kelam.

Ingatanku kembali kebelakang , menelusuri setiap jengkal jalan pecinan kota yang pernah aku telusuri bersamanya. Aku tak pernah lupa bagaimana rasanya saat tangan itu menggenggam tanganku.  Lentik dan juga menentramkan . Saat itulah kuyakini, bahwa aku takkan mungkin bisa hidup tanpa dia. Namun aku tak mau mengubah rasa ini menjadi sekedar kata-kata klise yang dibungkus manis. Sekedar kata hanyalah tabir. Aku lebih suka jika rasa yang menggagahi kami, menjadi raja diatas kami. Seperti itulah cinta yang aku selalu dambakan. Tanpa banyak kata kata apa, kenapa, mengapa.

Tak perlu ucapkan banyak kata , namun saling mengerti.

Dalam 1 kelebat kenangan lain, aku ingat saat ia jatuh sakit, yang memaksanya untuk berkutat dalam balutan selimut dan kompres air hangat di kamarnya yang berada di lantai dua. Ketika aku rela menembus lebatnya hujan hanya untuk menemaninya sembari membacakan cerita berjudul biar aku hilang, saat padam, menuju gelap kesukaanya. Bagaimana ia dengan tatapan tajam menggebu, menyukai sosok Tono dalam cerpen itu, yang menurutnya berani melawan jaman yang memang tak pernah ia sukai, namun akhirnya tetap mati dilahap ganasnya jaman. “Satu hal”, katanya sambil menitikkan air mata. “aku takkan menyerah melawan sakit ini. Takkan pernah.....”

Butiran air mata menyembul membasahi pipiku. Pada saat-saat seperti ini, betapa aku merindukan dirinya yang tiap lekuk tubuhnya selalu terbayang. Jelas seperti purnama malam. Kemerlap seperti hiasan pohon natal. Aku memejamkan mataku, berharap semua kenangan denganya berubah menjadi warna hitam seutuhnya. Dalam ketiadaan, gelap dan padam. Namun aku tak benar-benar bisa mendapatkan seutuhnya gelap. Bayangnya selalu mampu menghapus jejak hitam dalam pejam dan mengubahnya menjadi butir kenangan tentangku dan dia. Disaat berdua. Disaat bersama.

Dalam tangis aku menatap kembali layang-layangku diatas kanvas biru langit bercampur awan, tenang. 1 pertanyaan besar untuk tuhan sore ini:

Apakah orang baik musti cepat mati ?

**

Sore ini, aku menatap kenangan. Seperti sore-sore sebelumnya, aku terbangkan kenanganku dalam sebuah layang-layang. Ada gambar sepasang mata di layang-layang itu. Jika layang-layang ini terbang menuju langit, sepasang mata itu akan terlihat jelas bagi mata yang jeli. Hidupku sepi. Jika hidup adalah bentangan luka, bagiku saat ini takkan ada yang akan peduli selain mempercakapkannya dengan layang-layang. Begitu saja aku menghambur sedih ke dalam layang-layang diatas langit sana. Dari layang-layang itu aku pun segera menatap segala cerita kehilangan dan luka yang penuh makna. Tentang petaka, tentang penantian, tentang risau, tentang getir, tentang duka, juga harapan yang sia-sia. Berkat sang layang-layang pula, aku mampu melantunkan nada memilukan yang kini selalu kusenandungkan perlahan, lirih, diatas bukit diantara kepungan sepoi angin sore.

Aku sebenarnya tak begitu peduli dengan tembang memilukan yang kusenandungkan ini namun saat sayup-sayup aku mendengarkan koor kebaktian minggu di gereja megah yang dibangun tepat dipuncak bukit di timur jauh itu, aku tergugah dari kepelikan. Aku berhenti bersenandung dan mulai memejamkan mataku agar aku dapat mendengarkan koor itu lebih jelas .

Joy to the world ! The Lord is come,
Let earth receive her King.
Let every heart prepare him room,
And heaven and nature sing,
And heaven and nature sing,
And heaven, and heaven, and nature sing.
Joy to the world! The Saviour reigns,
Let men their songs employ.
While fields and floods, rocks, hills, and plains
Repeat the sounding joy,
Repeat the sounding joy,
Repeat, repeat the sounding joy.
No more let sins and sorrows grow,
Nor thorns infest the ground.
He comes to make His blessings flow
Far as the curse is found,
Far as the curse is found,
Far as, far as, the curse is found

Koor kebaktian di gereja itu berhenti setelah para jemaat didepan gereja tersebut riuh dalam kegembiraan. Lonceng gereja yang berdentum nyaring turut menambah riuh euforia. Dapatkah aku merasakan riuh kegembiraan yang dinikmati jemaat kristen di seberang bukit nan jauh itu ? Atau aku takkan bisa merasakannya karena bayangan pilu ini akan selalu berkutat di dalam diriku ? Ah layang-layang, atau mungkin kita sekali kali musti menyanyikan nada ini bersama, berulangkali, agar aku tak terlalu menanggung kepedihan ini sendiri. Aku perlu teman, binatang, setan, apa saja, yang rela aku bagi kepedihan ini untuk dinikmati bersama.

**

“nak , ada 2 macam manusia paling sial di dunia ini”.

Ada suara, menggugahku dari kehampaan. Ternyata ada yang mendekat. Ditemani sepeda tua dengan tas yang disenderkan di bangku bonceng belakang, dituntunnya melewati bukit tempatku bermain layang layang. Tukang pos desa .

“apa sajakah itu ?”

“yang pertama, penulis yang kehilangan arah tulisannya. Dan yang kedua, seorang yang terjebak dalam kesepiannya”

Aku terperanjat mendengar kata kata bapak ini. Aku diam. Jiwaku diam. “Sial. Tahu apa dia dengan kesepian yang aku rasakan ?” benakku bersuara.

“tidak perlu sungkan nak. Tak ada kesedihan yang tidak dapat dibicarakan”

“darimana bapak tahu kalau saya sedang  berkutat dengan kesepian?”

“Anggap saja aku pak tua yang kebetulan setiap hari menemukanmu bermain layang-layang dengan mimik yang tidak secuilpun menunjukkan kebahagiaan.”

Kalimat  itu, seperti cambukan yang menghancurkan punggung. Ngilu. Namun setengah benakku sadar, mungkin cambukan-cambukan seperti ini yang aku butuhkan. Segera aku menyelami dalam-dalam kalimat bapak itu. Aku merasa ada sesuatu yang diam-diam datang perlahan, entah apa namanya. Kejujuran ? Aku belum mampu menjabarkannya.

“entah kenangan buruk semacam apa yang mampu membuat manusia luruh dalam kesedihan seperti itu. Bermain layang-layang itu mustinya ceria, kesenangan. Bukan muram durja, bukan kesedihan !”

Plak ! Kalimat itu seperti sebuah tamparan yang mendarat telak di pipi. Pedas menjalar di kulit lantas menerobos ke jantung. Namun aku tak berani membantah. Karena satu hal : dia benar !

“sekarang, ceritakanlah kepada bapak. Kesedihan seperti apa yang engkau rasakan itu ? Jangan dipendam. Keluarkanlah”

Mendengar kalimat pak tukang pos itu, aku terjebak dalam dua belokan . Dalam belokan pertama , apakah aku musti menceritakan kisah kenanganku ini kepada tukang pos ? Namun apa gunanya ? Apakah bapak ini mampu menangkap kesedihan yang aku alami ? Atau dalam belokan lainnya , aku tidak menceritakannya . Namun dalam kesendirianku , aku jelas membutuhkan orang lain yang rela untuk kubagi kepedihanku untuk dinikmati bersama . Apakah bapak ini rela ?

“pak , apakah seorang manusia mampu menghilangkan kenangan pahit yang pernah dialami ?”

“dengar nak, kenangan adalah bayangan. Ia hadir untuk mempertegas sumber cahaya. Kita, nak , adalah sumber cahaya itu. Saat kita melangkah, kemanapun, bayangan akan selalu mengikuti kita. Saat kita melaju, kenangan akan menempa kita. Nak, kenangan menempa kita untuk menjadi dewasa”

Mendengar itu aku terperanjat, terdiam. Aku tak menduga bapak ini juga mengerti banyak tentang kenangan. Sementara bapak itu menatapku dengan tatapan mata menusuk kedalam.

“nak, aku belum mendengarkan kisahmu yang sepertinya pilu itu .”

Aku menatap layang-layangku yang terbang, tenang itu . Lalu aku mulai menceritakannya, tentang dia, tentang kami berdua, bersama. Tentang jalan pecinan yang pernah kami lewati bersama. Tentang aku yang menerjang hujan untuk menemaninya. Tentang cinta tanpa banyak kata-kata yang kami selalu harapkan. Tentang harapan yang tak pernah jadi nyata.  Disaat berdua, disaat bersama, dan tentang layang-layang ini yang membuat aku mengingat dirinya. Air mataku jatuh. Entah mengapa, apakah karena dia, atau karena bapak ini yang mampu menjabarkan segala kenanganku.

"lepaslah. Jangan menyiksa dirimu sendiri. Kematian itu sudah terlalu lama merenggutnya. Jangan membuat dirimu sendiri menjadi mati karenanya. Mengapa kau masih ingin memelihara tangisan yang merugikan ?" kata bapak itu. Aku coba menatapnya. Ada siluet lurus di dahi orang tua itu. Seakan dia memendam sesuatu . Ya, sesuatu yang sama pahitnya. Pak tukang pos itu lantas bercerita.

“nak, dulu aku punya seorang putra. Arya, begitu aku menamainya. Setiap hari Arya aku ajak untuk mengantar surat, dari rumah ke rumah, desa ke desa. Dia gembira sekali, seakan aku dan dia tak bisa dipisahkan.” Bapak itu mengawali kisahnya. Tidak ada kata-kata yang membakar bagai cambuk lagi. Yang ada adalah orang tua murung yang menceritakan sejarah kelamnya.

“apa yang terjadi, pak ?”

“hari itu, hari ulang tahun Arya. Dia menginginkan pesta ulang tahun kecil dirumah. Maka segera aku membuat surat undangan untuk dibagikan kepada teman temannya. Kami mengantar surat undangan itu bersama-sama.”

Ada tetes air di mata bapak tukang pos itu. Wajah tua yang tadinya cerah kini beralih mendung.

“kami ditabrak oleh mobil. Tepat setelah kami menyerahkan undangan terakhir. Mobil itu kencang sekali. Lalu mobil itu lari setelah menabrak kami. Aku selamat dari kecelakaan itu, sayangnya Arya tidak. Ia mati tepat di hari ulang tahunnya.”

“Bertahun tahun aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri atas Arya, putraku. Aku sedih sekali. Putraku mati didepan mataku. Bertahun-tahun, menjelang hari ulang tahun Arya, aku menyebarkan undangan untuk pesta ulang tahun Arya kepada teman-temannya. Ya tuhan, pasti mereka menganggapku gila, karena membuat pesta ulang tahun untuk orang yang sudah tidak ada. Aku liar, aku tak tahu apa yang aku pikirkan. Lantas suatu hari, aku sadar, yang aku lakukan adalah mustahil, membuat Arya pulang kembali. Ia pasti sudah berada ditempat yang lebih baik sekarang. Di keabadian. Lalu aku mencona ikhlas. Hidup itu memang penuh kenangan agar kita bisa menjadi dewasa. Dan dalam kedewasaan itu aku menemukan Arya.”

Untuk pertama kalinya aku menemukan orang yang mempunyai kenangan yang bahkan lebih kelam dari kenanganku sendiri, dan orang itu berhasil melaluinya dan menang. Aku menatap pak pos itu kembali. Tak ada lagi air mata. Mendung di wajahnya sudah tak ada. Ia kini menatap layang-layangku.

“hei nak, hidup itu tidak hanya berkutat dengan bayang-bayang yang pernah kita alami. Yang sudah pergi, biarkan dia pergi. Biarkan dia menjadi bayangan untuk mempertegas sumber cahayamu, kamu sendiri. Dia kini tenang dalam dunianya sendiri. Dalam keabadian. Kenanglah dia, namun jangan menjadi mati karena kenanganmu. Layang-layang itu adalah sumber ketakutanmu terhadap kepergiannya, padahal seharusnya kepergiannya tidak boleh kau halangi, biarkan dia jauh, biarkan dia tinggal dalam keabadian. Di hatimu.”

“Maka kini kamu tidak perlu takut lagi. Lepas layang layang itu, lepas dia, biarkan ia menjadi bayangan yang akan mempertegas cahaya dalam dirimu.”

Aku menatap layang-layangku. Orang tua itu benar, selama ini aku tak pernah rela melepaskannya untuk menjauhiku. Aku takut dia meninggalkanku. Seharusnya aku bersikap seperti bapak tukang pos ini. Ikhlas.

Lantas untuk kali ini aku pahami, agar aku mampu melepaskan layang-layangku, membiarkan ia terbang jauh. Aku takkan menghalanginya lagi.

**

Untukmu , kasih. Sejak dahulu, i didn’t choose you, my heart did. Kini biarkan hatiku memilih untuk membiarkan kamu pergi menuju keabadian. Aku telah mengenangmu sekian lama, dan aku takkan pernah melupakanmu. Kamu akan selalu ada ditempat terdalam, di ulu hati. Forever ....

**

“ayo nak, tunggu apalagi....”

Aku patahkan benang layang-layang itu. Aku lepaskan ia. Kupandangi ia hingga pergi menjauh. Dalam layang-layang itu, aku melihatnya, tersenyum. Melambai ke arahku. Tetes airmataku kembali jatuh. Karena kebahagiaan. Bukan pilu lagi. Kebahagiaan. Yang sempurna. Aku mungkin tak punya kelebihan untuk membuat semuanya sempurna, namun aku punya banyak kesempatan untuk membuat sesuatu menjadi lebih sempurna. Aku telah menggunakan 1 kesempatan itu. Dan itu hanya untuk dirinya.

**

Di sore ini, aku menatap kenangan . Dalam bukit ini , aku tatap gereja yang berada di timur jauh dimana semua jemaatnya sedang bernyanyi memuji tuhannya. Di seberang, bapak tukang pos tersenyum dan melanjutkan perjalanannya.