Sejarah memang selalu salah kaprah. Pensakralan satu versinya akan menenggelamkan versi lainnya yang belum tentu salah. Ia seperti laku pohon; ada sisinya yang menjulang dan diceritakan dengan rimbun, sementara ada sisi lain yang dibiarkan hilang terkubur di dalam tanah. Tenang. Padahal tanpa kehadirannya, rimbun itu tidak akan pernah tumbuh dan dikenang. Ia menguatkan, tanpa perlu terlihat. Ia mengukir tanpa perlu hadir. Aku menarik nafas. Di kota ini, aku punya semuanya. 

Aku mengedip-kedipkan mata dengan sangat hati-hati. Mataku mulai berkunang-kunang. Kilau. Kulihat berbagai cahaya dan warna. Aku tersenyum sendiri melihat gedung-gedung kota lama–oudestad, kata bapakku yang begitu fasih berbahasa belanda, sebab pernah mengenyam bangku sekolah di Hoge Kweek School. Oudestad yang setelah sekian puluh tahun lamanya tak ku jumpai itu, ternyata tak pernah benar-benar berubah. Kukira benar kata penulis tua itu, jarak dan waktu memang begitu fana. 

Aku pandangi pantulan diriku di genangan air di sudut jalan gedung Marba yang tampak begitu eksotik. Memang, kita dan Kota Lama begitu abadi. Bagiku waktu memang selalu tak beranjak di tempat ini. Sejarah tak dapat luput. Ingatan-ingatan masa lalu selalu mengendap di balik tembok-tembok tak terawat ini. Aku lantas tak dapat menahan diriku sendiri untuk tidak berkaca-kaca memandangi tembok-tembok itu. Ada kegaduhan dalam hati. 

Aku selalu berpikir bahwa angin dan dingin telah memisahkanku dari Semarang dan  Kota Lama. Angin memberikan telaah kepadaku terhadap arah-arah. Dingin orang-orang  itu—orang-orang dengan senjata, membuat kami, aku dan ibu, tanpa bapak, pergi. Aku selalu percaya, seperti cinta, kepergian yang baik akan selalu menuntunmu pulang. Angin yang lepas begitu bebas menghembuskan arah-arah, dan telaahnya padaku terhadap arah-arah membantuku untuk kembali.

Bukan tanpa alasan aku berdiri di Semarang, di Oudestad, sekali lagi. Seorang kawan pernah bercerita kepadaku. “Kau tidak akan percaya apa yang terjadi di negerimu sana, ada pohon-pohon yang muncul secara tiba-tiba. Jumlahnya 10 batang, dan mereka terus menerus tumbuh membesar”.
Kalimat setengah membentak itu sudah cukup menjadi alasan bagiku untuk datang ke tempat ini. Dan tentu saja, setelah berpuluh-puluh tahun, nyatanya tidak banyak yang berubah. 

Wajah Oudestad ini, seperti yang selalu ada dalam bayanganku; serupa lingkaran. Sederhana, namun dari kesederhanaannya tersebut muncul hal-hal yang begitu luar biasa. Aku selalu mencintai Semarang, kota lama, serta hal-hal yang tumbuh didalamnya. Dengan kata lain, jika Oudestad adalah lingkaran, rasa-rasanya aku tidak cuma perlu mencintai lingkaran itu, namun juga perlu memahami isi dari lingkaran tersebut. 

Tahun demi tahun terus berganti. Aku merasakan hal yang lama, tapi tetap terasa baru. Ada sinisme sekaligus takjub melihat Kota Lam. Ia memang tak begitu banyak berubah, selain tentu saja bertambah antik. Aku fasih melihat eksotisme lapuk-lapuk dan kusam di wajah tembok-tembok itu. Menarik, melihatku menikmati eksotisme semacam itu, aku menjadi sangat yakin bahwa aku memang sudah setua itu.

Seingatku, aku hampir selalu merasakan kekosongan setiap kali mendarat di suatu tempat. Entah. Sepertinya hanya tubuh tua ini yang hadir di tempat-tempat itu, sedangkan jiwaku melayang-layang ke antahberantah seperti layang-layang yang sedang diterbangkan bocah. Tinggi. 

Selalu ada enggan misterius yang dengan mudah kusadari. Tetapi tidak di tempat ini. Jiwaku selalu ingin ikut. Selalu ada alasan. Selalu ada ingin yang tertahan, yang perlu aku cari di sini. Bapak. 

Aku selalu berharap suatu hari akan kembali bertemu dengannya di tempat ini. Di kota ini, lusa atau sekarang. Semarang, saksi bisu tempat aku menghabiskan masa kecilku sebelum peristiwa mengerikan itu; penghilangan paksa–yang menyasar orang-orang tertentu, termasuk ayahku, terpaksa membuat kami angkat kaki.

Bapak hilang ketika kami, aku dan ibu, memutuskan untuk pergi. Tentu kami berdua bersedih hati dan menangis. Berbulan-bulan. Bertahun-tahun. Aku menangis dengan air mata dan teriakan yang keras, sedangkan ibu menangis di dalam benaknya. Benar kata ibuku, laki-laki memang tidak diciptakan untuk mampu menyembunyikan kelemahannya. Ibuku perempuan yang tegar. Ia orang yang tak mudah gentar. Aku selalu diajarkannya untuk tidak menjadi seorang pendendam. Merelakan selalu menjadi muara paling baik.
Aku yakin sebenarnya ibu takut sekali kehilanganku seperti ia kehilangan bapak. Sebagai anak, akupun punya ketakutan yang sama. Kami mengerti betapa teman-teman ibu selalu mencoba menguatkan kami berdua. “Tuhan mencintai orang-orang baik, maka mereka selalu dipanggil lebih cepat” kata mereka sekali waktu. Mendengar itu acapkali aku bertanya, jika bapakku sangatlah baik sehingga tuhan perlu untuk memanggilnya lebih cepat, maka bagaimana dengan orang-orang itu—orang-orang dengan senjata, yang menghilangkan bapak? Apakah mereka akan hidup selamanya mengingat menghilangkan nyawa adalah perbuatan yang tentu jauh dari kebaikan?
Dugaanku benar. Tidak ada yang mampu menjawab.
Kehidupan kala itu selalu kami jalani dengan ketakutan demi ketakutan. Ketakutan akan disasar oleh orang-orang itu—orang-orang dengan senjata, untuk kemudian dihilangkan, hingga ketakutan atas berbagai stigma dan beragam cap. Lama sekali kami menunggu informasi tentang bapak. Tetapi tidak ada seorangpun yang tahu, dan tidak pernah ada yang datang. Tak pernah ada pula kata maaf dari siapapun, hingga kini. Mungkin karena aku dan ibu pun tak pernah mencarinya. Terkadang maaf hanya mengulangi ritme yang serupa; tujuannya tidak pernah sampai.

Pohon-pohon. Riuh sekali.

Takjub kulihat festival Kota Lama yang diadakan hari ini. Festival di Oudestad ini memang sungguh unik sekali. Aku dan setiap yang hadir seperti sedang memasuki sebuah mesin waktu. Sejarah-sejarah bermunculan; beragam uang lama republik yang bersemi kembali, artefak kisah-kisah pertempuran gagah berani selama 5 hari kota ini yang diabadikan oleh pemuda-pemudi dengan mengisahkannya lewat diorama menggugah rasa kebangsaan orang-orang, hingga salah satu kendaraan antik milik pendiri negeri dipertontonkan. 

Aku tidak ingat dulu ada festival yang semeriah ini, selain riuh kampanye partai menjelang pemilu yang menyajikan atraksi-atraksi bela diri dan ilmu kebal tubuh khas zaman itu. Kini semuanya tampak begitu berbeda. Ketertarikanku pun tertuju kepada gereja megah yang menjadi salah satu pusat festival ini. Gereja Blenduk. Artefak maha-antik yang seumur-umur belum pernah aku masuki.
Blenduk. Tentu gereja ini tak pernah asing di mataku. Masa kecilku sarat dengan pemandangan kerk berarsitek multi megah ini. Dahulu, bapak seringkali mengajakku menikmati pemandangan gereja ini, sebelum mengajakku ke tempat kerjanya; di sebuah kantor yang di dinding depannya tercetak sebuah lambang ikonik yang kini dicap terlarang di negeri ini. 

“Gambar apa itu pak?” 

“Itu gambar perkakas, untuk membangun negeri,” jelas bapak mantap. 

Tentu di kedua tempat itu aku tidak boleh masuk. Jika di depan gereja aku selalu takjub, di tempat kerja bapakku aku lebih sering tertawa. 

Pak penjaga depan kantor kerja bapakku itu selalu bisa membuatku tertawa dengan lelucon-leluconnya yang lebih mirip satir itu. “Den, ingat besok jadilah bintang merah, jangan mau jadi bintang yang biasa aja,” katanya sekali waktu. 

Tidak, aku tidak tertawa karena apa yang dia bicarakan. Logat jawa medhok yang membuat aku tertawa. Entah apa yang dilakukan bapakku dan orang-orang di ruangan itu. Seringkali aku mencuri-curi waktu untuk mengintip apa yang terjadi di dalam ruangan lewat lubang kunci. Aku selalu mendapati mereka sedang berdiskusi dengan begitu pelik dan menegangkan. Wajah-wajah itu seperti menyembunyikan ketakutan akan sesuatu. Saat kuintip, mereka semua berpeluh hebat.

***

Aku selalu berpikir bahwa angin dan dingin telah memisahkanku dari Semarang dan Kota Lama. Angin yang panas menghembuskan gerah melewati celah-celah. Dingin orang-orang itu—orang-orang dengan senjata, mengendapkan gigil dengan teramat tajam. Di kepala dan di hati. Aku selalu percaya, seperti cinta, kepergian yang baik akan selalu menemukan jalan kembali. Angin yang gerah serta dingin yang gigil menciptakan sekat-sekat tak kasat mata yang membuat kami, aku dan ibu, tanpa bapak, pergi dari kota ini. 

Adanya festival tahunan ini membuat gereja Blenduk dibuka dan diperuntukkan untuk umum. Meski begitu tak tampak banyak orang di dalam gereja. Sebagian besar orang yang berada di festival ini sibuk memandangi pohon-pohon besar itu, pohon-pohon yang diceritakan kawanku, yang tumbuh di taman seberang gereja. 

Entah ek, entah jati, atau mahogany, yang pasti pohon-pohon yang tumbuh tanpa dinyana itu telah menjadi pusat perhatian baru di arena festival. Benar kata kawanku, jumlahnya 10 batang, dan mereka tumbuh semakin membesar. Rimbun. Sementara gereja ini tampak begitu senyap. Aku masuk ke sana.

Takjub itu muncul di wajahku saat melihat ornamen-ornamen itu terpampang megah di perut bangunan sarat sejarah ini. Terdapat keanggunan teramat antik layaknya katedral-katedral yang berada di penjuru eropa. Megah-megah itu tersebar di apse, di altar, di panti umat, mimbar, sedilia, lonceng-lonceng serta di kubah raksasa itu. Hanya ada beberapa orang termasuk aku di dalam ruangan ini. 

Tampaknya panitia festival tersebut paham, terjadi kebekuan di gereja ini yang lantas mereka cairkan dengan mengirim seorang pianist memainkan piano putih yang membatu di mimbar. Winterreise milik Franz Schuebert yang elok memanjakan telinga orang-orang yang berada di gereja ini, termasuk aku. Begitu kunikmati takjub-takjub yang ditawarkan oleh gereja ini, hal tersebut  membuatku berpikir, mungkin takjub-takjub yang sama inilah yang membuat konon Romo Soegijapranata hingga berani pasang badan begitu mengetahui gereja ini akan disita penjajah Jepang. Namun, apalah arti mata tua ini yang baru sekali melihat di dalam Blenduk, jika dibandingkan dengan Uskup ternama itu.

Alunan German Requiem mengantarku keluar ruangan. 

Mereka semakin menggerombol di pohon-pohon rimbun itu. Pohon-pohon itu terus tumbuh. Lebat. Aku heran, sebab tidak ada satupun orang-orang mengetahui apa atau siapa yang menanam pohon-pohon itu, kapan ia melakukannya dan mengapa ia menanamnya. Semua orang yang melewati taman di sebelah gereja itu akan sejenak berhenti untuk sekedar melihat, mengambil foto, atau ada juga yang memanjatkan doa di sekeliling pohon. 
 
Seketika pohon-pohon itu menjadi magnet baru. Tidak ada satu manusiapun yang tidak berhenti melihatnya. Semuanya begitu takjub melihat pohon-pohon yang tinggi menjulang yang tumbuh tiba-tiba. Seakan-akan ke-10 pohon ini ingin mengungkapkan sesuatu. 

Atau jangan-jangan, ke-10 pohon ini ada untuk mewakili sesuatu?

Aku lantas teringat akan sebuah cerita. Pada jaman dahulu kala, sang Buddha pernah mengajarkan bahwa kata-kata adalah ‘jari-jari yang menunjuk bulan’. Secara konotatif jika jari-jari bermakna kata-kata dan bulan adalah kebenaran, maka nilai yang dapat dipetik dari kalimat tersebut adalah kata-kata, sekecil apapun ia, akan selalu dapat menunjukkan kebenaran sejauh dan sesulit apapun. Lalu ketika kebenaran itu sudah terlihat, kata-kata akan menjadi kehilangan artinya; sebab ia telah melebur bersama kebenaran itu sendiri. 
 
 Sejenak lalu kubayangkan pohon-pohon itu, yang tumbuh semakin tinggi. Seperti kebenaran. Ujungnya tak terlihat lagi oleh kami-kami. Ujung itu menunjuk cakrawala. Akar mereka besar, mencengkeram tanah. Geram. Mungkin pohon-pohon tersebut ingin menunjukkan kebenaran atas sesuatu. 

Tentu tak pelak ada beratus-ratus lagi persepsi yang ada di benak orang-orang yang kini mengelilingi tumbuh pohon-pohon itu, termasuk aku. Aku lantas berpikir, tak mungkin pohon-pohon ini—yang berjumlah 10 batang, begitu saja tumbuh, tanpa tujuan. Aku kira ada campur tangan semesta perihal pohon-pohon itu. Itulah, pohon-pohon besar itu kemudian menjadi etalase bagi kami untuk terus berpikir, menggugah tanya dan membangun persepsi-persepsi. 

Ada yang mengaitkan pohon-pohon tersebut dengan takhayul-takhayul maupun klenik. Ada yang menerjemahkannya dengan ilmu botani dan rumus-rumus hidup tanaman. Ada juga yang mengatakan bahwa di dalam tubuh pohon-pohon tersebut tersimpan mitos yang jeritannya melengking panjang dan terus menggema berulang-ulang di telinga orang-orang hingga saat ini; sebuah peristiwa sejarah di tahun-tahun ketika kami, aku dan ibu, tanpa bapak, angkat kaki dari kota ini. Kebetulan, persepsi terakhir itulah yang juga sedang aku pikirkan. Dalam senyap, aku dan banyak orang di negeri ini tahu betul apa yang terjadi.

Aku selalu berpikir bahwa angin dan dingin telah memisahkanku dari Semarang dan kota lama. Angin begitu sergap melambaikan angan-angan. Kelam. Dingin orang-orang itu—orang-orang dengan senjata, menenggelamkan kami ke dalam sekam-sekam, yang di dalamnya bermekaran ketegangan. Aku selalu percaya, seperti cinta, kepergian yang baik akan selalu mengantarkanmu ke arah yang benar. Angin dan angan kurangkai menjadi puing-puing memoar yang terbang mengelilingi kepala dan mengendap di dalam benak.

Bagi kami, tahun-tahun tersebut begitu mengerikan. Betapa tidak, konon jari-jari yang sebenarnya tahu ke mana ia harus menunjuk, dikalahkan oleh ketakutan demi ketakutan. Ketakutan akan bentakan, popor senjata, hingga penghilangan paksa. Ketakutan menjadi cawan yang menenggelamkan nyali orang-orang. Di rumah sendiri, orang-orang semakin takut pulang. Sedangkan kata demi kata, pembicaraan demi pembicaraan, ternyata acapkali terdengar dari mulut-mulut yang nyaris nihil makna. Kekeliruan mengucap atau menuliskan kata-kata—apalagi menunjuk, berpotensi ancaman dan konsekuensinya adalah satu; hilang.

Memang, di tahun penuh kegelapan itu, banyak yang hilang, sedikit yang ditemukan, dan nyaris tidak ada yang berani melawan. Mereka tentu tidak mungkin lupa; bapak, ibu, kakek, sahabat, kekasih, handai taulan—mereka yang hilang tanpa kabar. Mereka dengan tega menghilangkan orang-orang itu. Sebagian dari mereka diasingkan pulau di ujung timur sana.

Sebagian lagi dimasukkan ke sel-sel penjara untuk diinterogasi. Namun banyak lagi yang dibunuh dan dikubur di lubang besar untuk menutupi jejak mereka. Di kota-kota di negeri ini. Aku tahu, aku baca berita tempo hari tentang saksi mata di Semarang yang menceritakan pengalamannya saat melihat secara langsung orang-orang itu—orang-orang dengan senjata, yang melakukan pembersihan dan penghilangan orang-orang yang dituduh kiri. 
 
Coba bayangkan, dipaksa mati karena dituduh kiri. Tanpa pengadilan, tanpa keadilan.

Setelah berpuluh-puluh tahun, saksi mata itu baru berani menuturkan pengalamannya yang mencekam. Konon menurutnya yang melihat langsung kejadian itu, korban yang dituduh berjumlah 10 orang–1 orang adalah perempuan. 

Kematian mereka tidak jauh dari Oudestad yang kini riuh dengan festival ini; di sebuah semak belukar yang lebat. Mungkin bagi orang-orang dengan senjata itu, dan siapapun yang berada di balik mereka, kematian adalah persembunyian paling aman. Mereka ingin menghapus jejak orang-orang itu. 

Tentu aku tak mengerti apa yang menyebabkan saksi mata tersebut berani menceritakan pengalamannya tersebut secara runtut. Aku tak tahu pasti, mungkin saja fenomena tumbuhnya pohon-pohon di Oudestad ini sedikit banyak menumbuhkan keberaniannya untuk berkata-kata. Seperti kami yang terpaku melihat pohon-pohon yang tumbuh. Pohon-pohon ini seperti mampu menghipnotis orang-orang. Ada sesuatu yang tak dapat tersentuh indera di dalam tumbuh pohon-pohon itu. Entah. Kutemui takjub di sana.

Kehadiran pohon-pohon di Oudestad ini telah menjadi api semangat baru bagi orang-orang. Di tubuhnya mereka menggantungkan foto-foto bapak, ibu, kakek, sahabat, kekasih, handai taulan–orang-orang yang pada waktu itu secara tiba-tiba hilang.

Puluhan. Ratusan. 

Ribuan foto orang-orang yang hilang tersebut digantungkan tak teratur di pohon-pohon tersebut. Berkat pohon-pohon itu, kini orang-orang tak takut lagi bersuara lantang dan bertanya di mana mereka berada. Seperti titah Buddha, jari-jari itu kini berani lagi menuding. Arah-arah itu kembali tegar untuk menunjuk. Lewat pohon, kata-kata menjadi begitu gagah berani menunjuk kebenaran. Dan percayalah, kebenaran dan keberanian adalah hal-hal yang selalu melegakan.

Pohon-pohon itu tumbuh dengan sejuta misteri yang mengitarinya. Kukira tak ada penjelasan paling gamblang atas tumbuhnya pohon-pohon itu, selain riuhnya persepsi. Mungkin, pemahaman manusia masih terlalu landai untuk mengerti fenomena-fenomena yang disuguhkan semesta. 

Meski begitu aku percaya semesta selalu bekerja dengan adil dan sempurna. Kukira terdapat jiwa-jiwa yang bersemayam di tiap rimbunan pohon itu, yang membuat orang-orang kini begitu berani menunjuk kebenaran. Namun aku sendiri juga bisa saja keliru. Aku hanyalah seorang tua yang penuh duga.

Foto kecil bapakku kurogoh dari dompet untuk kemudian kugantungkan di salah satu pohon itu. Ah, bapak. Entah kenapa wajah tua itu tampak lebih tersenyum dari biasanya. Kutatap mereka. Lampu-lampu kota mulai menyala. Terang sekali. 


Magelang, April 2016