“Sang surya datang lagi,  bajingan !”, gumam Tono. Ya, ia bernama Tono, adalah satu dari sekian manusia di negeri ini yang sudah sangat malas menjadi buruh jaman dan budak segenggam koin dan kertas yang mereka sebut rupiah. Dan pagi itu ia sempat berharap surya tak lagi datang, biar semua gelap, padam !

Tono, adalah seorang suami bagi istrinya yang penyakitan, dan sekaligus merangkap sebagai bapak bagi seorang anak lelakinya yang lumpuh. Hari-harinya disibukkan dengan menjadi seorang pedestrian emper alun-alun dan pecinan kota, dan sesekali duduk, bersila disudut depan toko jamuan sambil berharap orang lain yang memiliki rasa iba memberikan sedikit koin ataupun kertas yang bernama rupiah kepadanya. Hal yang saat ini sudah sangat jarang dimiliki oleh mayoritas manusia negeri ini yang katanya terkenal tenggang rasa dan saling tolong-menolong. Mereka yang membanggakan apa yang mereka punya, lalu sengaja lupa dengan orang orang seperti Tono yang melarat, hingga mereka menjauh, ingkar !

Sejak muda, laki-laki paruh baya itu memang sudah tak mau berkawan dengan jaman. Baginya jaman hanyalah makhluk astral yang jika diajak berteman , maka ia akan menjadi serigala berbulu domba, mengajak kita pada kesenangan lalu meninggalkan kita saat kita sudah terbutakan kesenangan tersebut. Jaman hanyalah setan yang selalu bersembunyi, diantara percaya dan simpati, sebelum kita musnah karena rayuannya mengakibatkan kita luka, dan ia akan tertawa diatasnya !

“uhuk..uhuk...! Mas, sebelum berangkat,  minumlah teh tawar yang aku buat ini .” Ujar istrinya, Hanah, sambil sesenggukan karena batuk yang ia derita tak kunjung sembuh sejak 2 tahun yang lalu. Istrinya yang sakit hanya dapat menjaga tubuh kurusnya dengan jaket kusam yang ia pakai dan sebuah selendang sobek yang ia talikan di lehernya. Berharap takkan ada lagi penyakit yang akan datang untuk menggerogoti tubuhnya yang sudah sangat kurus , dan menggerogoti hati Tono yang semakin terpukul karena keadaan istrinya yang tak pernah kunjung seperti sedia kala.

“iya , dik.” Tono meminumnya. Teh tawar dan tak berasa, namun tetap ia minum dengan suka cita.


**


Surya telah mulai meninggi. Menggeliat, pelan, patuh menjejak langit nan atas.

“Sudah jam 7”. Dan tono mesti lekas berjalan menuju kota. Sejenak ia berjalan pelan, menuju kamar anaknya. Lalu ia memandang kekamar anaknya, melihat dia yang lumpuh tak berdaya terbaring lemas di kamar. Sang anak menatap bapaknya dengan tatapan kosong, pilu. Segera Tono tutup korden yang menutup pintu kamar anaknya. Lalu Tono mengecup kening istrinya .

“aku berangkat”

“hati-hati , mas” jawab istrinya , lirih .

Lalu Tono berjalan. Pelan.  “Aneh”, pikirnya. Dalam beberapa waktu Tono belum pernah melihat istrinya berkata selirih itu. Lalu rasa tak enak itu muncul di hati Tono. Sesuatu yang memanggilnya, mengatakan kalau akan ada sesuatu yang janggal dirumah. Namun Tono tak peduli. Baginya itu hanyalah perasaannya saja.

Nyaris 30 menit ia berjalan, sampai ia di satu sudut jalan pecinan. Kakinya gontai karena kerikil kecil melukai kaki tuanya. Ia tak peduli, tetap ia melangkah meski darah itu semakin mengalir deras keluar menggenangi trotoar jalan. Meski rasa sakit itu menjalar keseluruh tubuh, Tono tak menggubrisnya. Baginya, sakit hanya sebatas kata, sama seperti ketika ia merasakan suka, sedih, pahala, dosa, benar-benar hanya kata .

Tono masih terus berjalan. Ia menatap ke tengah, dimana ia mendengar lalu lalang kuda besi itu dan segala raungan dan asapnya, menyesakkan gendang telinga. Lalu ia menatap ke sekitar, lalu lalang manusia yang ia sebut badut karena mereka merasa diri mereka pintar namun sebenarnya dungu karena telah berhasil diperbudak jaman. Ia pun menatap ke atas, mengernyit dahi, lelah . “hai kau Tuhan, kenapa engkau membiarkan mereka sombong terhadap kesesatan ?” Ujar Tono .

**

Setengah jam berlalu dan sampailah Tono di depan toko jamuan. Toko yang dikaca depan tertempel tulisan “ngamen hari rabu”. Toko tempat ia biasa duduk bersila, mengadah tangan, berharap orang lain yang memiliki rasa iba memberikan sedikit koin ataupun kertas yang bernama rupiah itu kepadanya. Namun seperti biasa, hal itu saat ini sudah sangat jarang dimiliki oleh mayoritas manusia negeri ini yang katanya terkenal tenggang rasa dan saling tolong-menolong. Jangankan memberi, bahkan mereka merasa teramat jijik mendekati, mereka lebih memilih menjauh.

**

Seperti surya yang semakin meninggi, seperti sang macan yang raungannya abadi.

**

Sepi ini menjadi. Bagaimana tidak, Tono berada di tengah-tengah lautan manusia yang hilir mudik didepannya, namun sebagian besar mereka acuh tak menganggap dia ada. Hanya beberapa dermawan yang mau memberikan sedikit rupiahnya kepada Tono.

Setelah beberapa jam, dan koin dan kertas rupiah itu telah dirasa cukup olehnya, akhirnya Tono berjalan pulang kembali kerumah. Di jalan pulang ia melihat darahnya sendiri yang sedari pagi menetes di jalan, sekarang mengering. Memberitahu jalan pulang baginya.

“ahh... 124 koin , dan 6 lembar uang kertas , istriku pasti senang”. Ia pun berjalan pulang, sumringah, penuh kepastian..

Pukul 6 lebih 20 menit, dan Tono sampai di depan rumahnya. Rumah yang sebenarnya lebih layak bernama kandang. Namun apa yang lebih pantas disebut kandang itu tetap digunakan Tono dan keluraga kecilnya untuk tempat hidup dan berteduh dari segala lara. Tak heran, karena cuma tempat itulah yang bisa digunakan Tono dan keluarganya untuk berteduh .


**


Ketika ia masuk ke rumah, ia kaget.

Kedua malaikatnya sudah tergeletak, diam, tak bernyawa. Ternyata mereka mati bunuh diri siang tadi .

“Tidak .. Tidak mungkin ..! Aku terlambat ! Bajingan !!”

Malam itu, semua berubah. Sakit dan menyakitkan. Isak tangis Tono tak mampu terbendung lagi. Ia menangis sejadi-jadinya. Memecak pekikan adzan maghrib yang sayup sayup terdengar di ujung cakrawala.

Ternyata rasa tak enak hati yang ia rasakan pagi tadi, akhirnya benar terjadi. Akhirnya jaman menumbalkan satu korban lagi. Tidak, dua kali ini. Istri dan anaknya yang jadi tumbal.

Dan Tono merasa kalah, ia kalah dengan jaman. Ia kalah dengan jaman yang tak pernah berhenti menyakitinya. Kalaupun sebelumnya ia tak pernah menggubrisnya, kali ini tidak. Ia kalah, dan ia benar-benar kalah saat ini.

Diatas meja, Tono menemukan secarik kertas. Sebuah pesan terakhir dari istrinya.

Sambil sesenggukan ia pun membacanya.

**

“Tonoku sayang, aku sudah muak dipermainkan waktu, aku lelah jadi tumbal sesatnya jaman!! Padahal aku sudah memohon setiap hari kepada Tuhanmu untuk memberi kita riski melimpah, 5 kali sehari, 5 kali! Apakah permintaanku terlalu berlebihan? Hingga Tuhan pongah dan memalingkan wajahnya dari harapku??

Maaf Tono , namun sepertinya aku musti mati sekarang , aku sudah lelah ! Kamu tak perlu memikirkan tentang hutang kita kepada rentenir jahannam itu , aku sudah melunasinya dengan menjual diriku ke Koh Liem , si tua bangkotan pemilik toko material di kota . Sekali lagi , maaf..”

Istrimu , hanah

**

Suara adzan isya telah terdengar, sayup di ujung sana. Isak tangis Tono sudah berhenti, entah berapa banyak yang ia tumpahkan sedari tadi. Telah pula ia kubur kedua malaikatnya di depan rumahnya. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia sekarang sendiri . Tak ada lagi yang ada untuk menemaninya.

Ia sendiri, sendiri dan tak berarti.

Tono berhenti di sebuah masjid. Ia pun berdoa. Ia panjatkan doa demi mendapatkan petunjukNya yang bernama Tuhan. Semua koin yang terkumpul kini ia masukkan ke dalam kotak amal .

“mereka lebih membutuhkannya sekarang daripada aku.”

Ia lantas berjalan, sempoyongan, mengoyak kesunyian malam. Tanpa arah, tanpa tujuan. Baginya tujuan tak lagi penting. Tujuan itu klise yang dibesar-besarkan. Baginya tak ada lagi yang penting.

Tepat tengah malam dan sempailah ia di jembatan kali Progo. Dengan apa yang tersisa sekarang, ia tak ingin lagi menantang jaman. Jaman telah mengambil segala yang sudah ia punya.

**

“Dan biarlah aku menghilang , disaat padam , menuju gelap.”

**

“jaman telah menyakitiku !”

Tono, yang sudah kalah telak, dengan tanpa basa basi lagi, terjun bunuh diri dari jembatan progo. Kali ini ia mati, dan ia pun mati. Tak ada yang mengenangnya, hingga kini.




**