Credit photo: Google.



Ya. Judul di atas benar.

Secara harfiah, setelah menonton Joker, saya tak bisa melihat Thomas Wayne dengan cara yang sama lagi.

Di setiap penggambaran Thomas Wayne, ayah Bruce Wayne, saya selalu melihat seorang yang sangat kaya sekaligus paling dermawan sedunia.

Ambil contoh penggambaran Thomas di The Dark Knight Trilogy-nya Nolan.

Seorang dokter, punya perusahaan, sekaligus seorang filantropi--membangun sistem transportasi massal bagi masyarakat miskin Kota Gotham yang penuh muram.

Pokoknya dia raja Gotham yang tidak punya cela.

Maka, saat Thomas dan Martha Wayne dibunuh, sepertiga film Batman Begins saya isi dengan sumpah serapah pada Mr. Chill, si pembunuh.

Di Joker, saya tidak bisa melihat sosok Thomas Wayne yang seperti itu. Dari sudut pandang Joker, dia bukanlah seorang pahlawan Kota Gotham.

Alih-alih, ia cuma seorang birokrat yang punya ambisi besar menjadi Wali Kota. Di negeri kita, banyak yang seperti itu.

Yang jenius dari film Joker adalah segi penceritaannya yang, meski kelam, namun jujur. Sepanjang film kita melihat seorang yang sebenarnya tidak jahat, namun dirusak oleh realitas sosialnya.

Seluruh bangunan cerita Joker menceritakan bagaimana keadaan sosial di sekitar mengubah pola pikir kehidupan Arthur Fleck.

Dihajar pemuda yang mencuri papan diskon toko, ditipu temannya dengan memberikan pistol, dihajar lagi oleh tiga pemuda kaya di subway, menerima kekerasan fisik dari ibunya sejak kecil (yang baru ia ketahui saat dewasa), dihajar Thomas Wayne di toilet, hingga dihina Murray di televisi, boleh jadi cukup membuat Arthur muak tidak melawan.

Menggunakan pistol yang diberikan Ramdall, teman kantornya, ia pun mulai melakukan pembalasan.

Menembak tiga pemuda kaya di subway, membekap ibunya sampai mati, menusuk Ramdall menggunakan gunting dan menghajarnya sampai mati di apartemen, serta menembak Murray saat live di televisi.

Yang menarik adalah pembunuhan tiga pemuda kaya di subway--ketiganya karyawan Thomas Wayne--oleh Arthur Fleck, ialah hal tersebut menjadi semacam pemacu perlawanan gerakan melawan orang-orang kaya, Kill the Rich, di Gotham.

Credit photo: Google.

Di sepanjang film pun kita bisa melihat ketimpangan sosial terjadi di Kota Gotham.

Orang-orang kaya hidup di tengah kota.

Sementara kaum-kaum miskin, seperti Arthur dan ibunya, tinggal di apartemen reyot di pinggiran.

Ketimpangan sosial juga divisualisasi dengan sangat baik ketika tidak ada pemberitaan dari media Kota Gotham yang menyinggung soal penderitaan kaum miskin yang susah bekerja.

Namun, media malah secara berseri memberitakan tentang super-rat yang berkeliaran di rumah-rumah orang kaya.

Bahkan jika anda lebih jeli, untuk mengkampanyekan pencalonan Wali Kota Gotham, Thomas Wayne punya kolom satu halaman di sebuah koran.

Credit photo: Google.

Pada akhirnya, kemalangan demi kemalangan akan membuat seseorang melakukan hal ekstrim. Untuk kasus Arthur Fleck, menjadi seorang Joker.

Jika menilik Trilogy The Dark Knight di mana Bruce Wayne perlu menciptakan persona untuk melawan kejahatan di Kota Gotham yakni menjadi Batman, konsep serupa digunakan Arthur dalam menjadi Joker.

Ada satu titik di film, di mana ia menyadari bahwa terus-terusan menjadi seorang Arthur Fleck, maka artinya dia akan terus ditindas oleh realitas sosialnya.

Namun, dengan menjadi seorang badut Joker, berarti dia menciptakan sebuah persona baru.

Yaitu sebuah ikon perlawanan terhadap orang-orang kaya Gotham, yang sosoknya terwakili oleh Thomas Wayne.

Film Joker, dengan segala ceritanya, barangkali berkaitan erat dengan kehidupan saat ini. Konsumerisme masyarakat, abai terhadap penderitaan orang lain, orang-orang kehilangan sisi humanis, individualisme meraja lela.

Jadi, bukankah kita sebenarnya adalah bagian realitas sosial yang barangkali punya andil membentuk seseorang menjadi Joker?